oleh: Philipus Brandon Sitolang
Penelitian ini dimulai dengan tujuan untuk memproduksi bioetanol dari kulit pisang dan nanas melalui proses fermentasi. Pada tahap awal, saya dan kelompok mengira bahwa menggunakan bahan-bahan organik tersebut bisa menghasilkan bioetanol yang diinginkan. Namun, setelah fermentasi selama satu minggu dan dilanjutkan dengan proses distilasi, kami menemukan bahwa tidak ada etanol yang terbentuk, meskipun seharusnya proses ini menghasilkan etanol jika fermentasi berjalan dengan baik.
Penurunan hasil fermentasi ini disebabkan oleh faktor kunci, yakni metode fermentasi yang tidak menggunakan botol leher angsa. Dalam fermentasi, terutama yang melibatkan ragi, oksigen menjadi faktor penting dalam menentukan hasil fermentasi yang diinginkan. Ragi, yang termasuk dalam kelompok mikroorganisme fermentatif, mengubah gula menjadi alkohol (etanol) dalam kondisi anaerobik (tanpa oksigen). Namun, tanpa adanya pembatasan oksigen yang cukup, seperti yang seharusnya diberikan oleh botol leher angsa, mikroorganisme tersebut tidak dapat berkembang dengan optimal dan akhirnya beralih ke proses lain, yaitu metanogenesis.
Metanogenesis adalah proses biologis yang dilakukan oleh bakteri metanogen, yang biasanya terjadi dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Metanogen mengubah senyawa organik menjadi metana (CH4) alih-alih etanol. Oleh karena itu, kekurangan oksigen dalam sistem fermentasi kami mengarah pada kegagalan untuk menghasilkan etanol dan malah menghasilkan metana, yang menyebabkan kami mendapati hasil distilasi berupa gas metana, bukan etanol. Hal ini juga mengarah pada kematian bakteri ragi yang kami gunakan, karena tidak dapat bertahan hidup dalam kondisi anaerob tanpa oksigen yang cukup.
Pada titik ini, kami melakukan evaluasi terhadap kegagalan ini dan berpikir untuk mencari topik penelitian alternatif. Setelah merenung dan berkonsultasi, kami memutuskan untuk mengalihkan fokus penelitian ke topik dengan pendekatan ilmiah yang lebih sederhana, yaitu menguji daya adsorpsi karbon aktif berbahan ampas kopi terhadap metilen biru. Proses adsorpsi ini merupakan fenomena fisik dan kimia di mana molekul atau ion zat terlarut terikat pada permukaan adsorben (dalam hal ini karbon aktif). Karbon aktif memiliki struktur berpori yang sangat besar, sehingga dapat menyerap berbagai jenis molekul, termasuk senyawa organik seperti pewarna metilen biru. Kami akan membandingkan persentase removal dari berbagai tahap pengolahan karbon aktif yang meliputi pencucian, karbonisasi, dan sulfonasi (aktivasi).
Untuk meneliti hal ini, kami membagi tugas di antara anggota kelompok. Saya berusaha memberikan penjelasan mendetail tentang proses adsorpsi yang akan dilakukan. Dalam proses ini, metilen biru, sebagai zat warna yang larut dalam air, akan diserap oleh adsorben yang terbuat dari ampas kopi. Proses ini sangat bergantung pada faktor-faktor seperti ukuran partikel karbon aktif, konsentrasi metilen biru, dan waktu kontak antara zat warna dan adsorben.
Di laboratorium, kami mempersiapkan sampel karbon dari ampas kopi dengan proses karbonisasi untuk mengaktifkan permukaannya dan meningkatkan daya serapnya. Selanjutnya, kami melakukan sulfonasi dengan asam sulfat (H2SO4) untuk menghasilkan karbon aktif. Kami mencampur metilen biru dengan larutan air dan diberikan masing-masing 20 mg adsorben, lalu setelah 24 jam dalam mesin shaker yang digunakan untuk meningkatkan luas permukaan reaksi, kami mengukur perubahan konsentrasi metilen biru setelah beberapa waktu untuk menentukan kapasitas adsorpsi dari adsorben tersebut. Kami melakukan perhitungan menggunakan spektrofotometri visible yang memberikan kami nilai absorbansi. Dari nilai ini, dapat ditemukan konsentrasi akhir metilen biru melalui persamaan kurva baku hubungan konsentrasi dan absorbansi metilen biru. Setelah mendapat konsentrasi akhir, dapat ditemukan persentase removal melalui rumus konsentrasi awal-konsentrasi akhir/konsentrasi awal. Gaby membantu saya dalam menghitung hasil dari eksperimen, meskipun sebagian besar perhitungan dan analisis data saya lakukan sendiri.
Selama penelitian ini, aku belajar banyak tentang pentingnya pemahaman terhadap teori dasar di balik setiap proses yang kami lakukan, mulai dari fermentasi yang mengarah pada metanogenesis hingga prinsip adsorpsi dalam kimia lingkungan. Aku juga menyadari bahwa meskipun eksperimen awal kami gagal, itu memberi aku pelajaran berharga tentang bagaimana eksperimen ilmiah bekerja—sering kali tidak berjalan sesuai rencana, namun memberikan kesempatan untuk belajar dan berkembang. Meskipun ada keterbatasan dalam pemahaman anggota kelompok yang lain, saya berusaha keras untuk membimbing mereka dan memastikan setiap anggota kelompok mendapatkan pengalaman dan kontribusi maksimal. Meskipun terpaksa lembur untuk menyelesaikan laporan, kami akhirnya mempresentasikan dengan lancar pada hari pengujian.
Dari pengalaman ini, saya belajar banyak tentang pentingnya tanggung jawab, kerjasama tim, dan keterampilan komunikasi. Tanggung jawab terhadap setiap tahap eksperimen dan kemampuan untuk berpikir kreatif setelah kegagalan adalah hal yang sangat penting dalam dunia penelitian. Pengalaman ini juga mengajarkan saya untuk selalu melakukan analisis yang lebih teliti dan mengutamakan ketelitian dalam metodologi eksperimen, seperti yang terlihat pada kegagalan awal kami yang disebabkan oleh kesalahan dalam desain fermentasi. Saya menyadari bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, tetapi sebuah langkah untuk menuju keberhasilan dengan cara yang lebih baik.