MIPA1Ol

Luka Tak Terlihat yang dapat Menghancurkan Masa Depan

Tiffany Michelle Soesanto (XII MIPA 1/34)

Di dunia yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi setiap manusia, masih banyak individu yang terjebak dalam lingkaran perundungan, suatu kejahatan yang sering kali dianggap remeh, tetapi menyisakan luka mendalam. Perundungan bukan sekadar ejekan atau pukulan. Perundungan adalah racun yang merusak kepercayaan diri, menghancurkan kesehatan mental, dan bahkan menjerumuskan korban ke dalam jurang keputusasaan. Tidak ada pembenaran bagi perundungan, baik itu dilakukan atas dasar candaan, kekuasaan, atau sekadar mengikuti arus sosial.

Perundungan bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis. Data dari Asosiasi Psikologi Amerika (American Psychological Association) menunjukkan bahwa korban perundungan berisiko tinggi mengalami kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Sebuah studi dari United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) mengungkapkan bahwa sekitar 30% anak-anak dan remaja yang mengalami perundungan mengalami gangguan kecemasan berat, yang berdampak pada perkembangan sosial dan akademik mereka. Dalam beberapa kasus ekstrem, perundungan bahkan mendorong korban untuk melakukan tindakan bunuh diri, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Amanda Todd dan Phoebe Prince, dua remaja yang mengakhiri hidup mereka setelah mengalami perundungan berkepanjangan. Di Indonesia, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 40% anak-anak dan remaja mengalami perundungan di lingkungan sekolah, dengan sebagian besar korban melaporkan dampak psikologis yang serius. Hal ini menunjukkan bahwa perundungan bukan sekadar masalah sepele, melainkan persoalan serius yang harus segera ditangani.

Perundungan tidak hanya menyakiti secara emosional dan mental, tetapi juga memengaruhi prestasi akademik dan kehidupan sosial korban. Menurut National Center for Educational Statistics (NCES), korban perundungan cenderung mengalami sakit kepala, gangguan pencernaan, hingga insomnia akibat stres berkepanjangan. Ketakutan untuk pergi ke sekolah dan bertemu dengan pelaku perundungan menyebabkan korban semakin tertinggal dalam akademiknya. Selain itu, perundungan dapat membuat korban menarik diri dari lingkungan sosial, mengembangkan rasa rendah diri, dan kehilangan kepercayaan terhadap orang lain. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat berdampak panjang hingga dewasa, menyebabkan kesulitan dalam dunia kerja dan interaksi sosial.

Beberapa orang beranggapan bahwa perundungan dapat membentuk mental seseorang agar lebih kuat. Namun, anggapan ini keliru. Mental yang kuat dibangun melalui lingkungan yang mendukung dan penuh kasih sayang, bukan melalui kekerasan dan penghinaan. Sebaliknya, banyak korban perundungan mengalami trauma berkepanjangan yang menghambat perkembangan mereka. Studi dari Harvard University menunjukkan bahwa individu yang mengalami perundungan di masa kecil lebih mungkin mengalami ketidakstabilan emosional dan kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di masa dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa perundungan tidak memiliki manfaat apa pun, melainkan hanya menciptakan generasi yang hidup dalam ketakutan dan ketidakpercayaan.

Di era modern, perundungan tidak lagi terbatas pada interaksi langsung, tetapi juga merajalela di dunia maya. Cyberbullying menjadi bentuk perundungan yang lebih sulit dikendalikan karena dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Berdasarkan survei dari Pew Research Center, sekitar 59% remaja di seluruh dunia pernah mengalami perundungan daring dalam bentuk pelecehan, komentar negatif, hingga penyebaran informasi palsu. Berbeda dengan perundungan konvensional, cyberbullying lebih sulit dihindari karena jejak digital terus membayangi korban dalam kehidupan sehari-hari. 

Perundungan tidak akan berhenti jika kita hanya menjadi penonton. Kesadaran dan empati harus ditanamkan sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas. Pendidikan karakter yang menekankan pentingnya rasa hormat dan toleransi harus menjadi bagian dari kurikulum. Selain itu, peraturan yang lebih tegas harus diterapkan untuk memberikan perlindungan bagi korban dan memberikan sanksi kepada pelaku perundungan.

Beberapa negara telah menerapkan kebijakan tegas dalam menangani perundungan. Misalnya, di Finlandia, program KiVa (singkatan dari Kiusaamista Vastaan atau melawan perundungan) diterapkan di sekolah-sekolah, yang terbukti mampu menurunkan angka perundungan hingga 80%. Di Indonesia, upaya serupa juga perlu diperkuat melalui sosialisasi, pengawasan ketat di sekolah, dan kebijakan yang lebih berpihak kepada korban.

Perundungan tidak memiliki tempat di masyarakat yang beradab. Dampaknya tidak hanya mencederai individu yang menjadi korban, tetapi juga merusak harmoni sosial. Kita tidak bisa lagi menganggap perundungan sebagai bagian dari “proses pendewasaan” atau candaan yang tak berbahaya. Sudah saatnya kita berdiri melawan perundungan dengan menciptakan lingkungan yang lebih aman, penuh kasih sayang, dan menghargai perbedaan. Karena setiap manusia berhak untuk hidup tanpa rasa takut dan tidak ada alasan yang dapat membenarkan perundungan dalam bentuk apa pun.

Related Posts

H-11 Gelar Karya
Hari ini kami berlatih di V-Hall ditemani oleh Pak Pelog...
Read more
Kamera Keamanan Menjaga Kita Menjadi Lebih Aman
Oleh : Christian Alexander W / XII MIPA 1 /...
Read more
17/01/2024 : Latihan di Francis
Teresa Putri Kriskasigi XII MIPA 1/33 Aku (di tengah) berlatih dengan...
Read more

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top